Pangkat, Hormat… Itu Budaya!
Artikel ini merupakan artikel pembuka saya setelah lama vakum dari dunia blogging. Banyak cerita yang terjadi selama waktu vakum ini, namun saya bingung cerita mana yang ingin saya angkat duluan.
Namun akhirnya saya memutuskan untuk membuka cerita dari kejadian yang paling baru. (mumpung masih inget :p)
Lingkungan kerja saya sekarang berada di pemerintahan, ingat, pada kalimat sebelumnya saya tulis lingkungan kerja, bukan saya bekerja :D. Setelah sempat kecewa dengan sistem sebuah perusahaan IT terkenal di Jakarta, saya bergabung dengan tim dari luar negeri untuk mengembangkan sistem E-Office di sebuah lembaga pemerintahan di Jakarta.
Saya tidak akan menceritakan tentang pekerjaan yang saya lakukan, tapi saya tergelitik untuk bercerita mengenai budaya di lingkungan kerja saya tersebut. Para pejabat (pemerintah dan militer) serta staff dan pegawai negeri sipil di lingkungan kerja saya memiliki budaya saling sapa kepada siapa saja yang mereka temui di lingkungan kantor, baik yang mereka kenal ataupun tidak.
Sesekali saya perhatikan, ketika berada di lift, mereka selalu memperhatikan atribut yang dikenakan orang-orang yang berada di lift tersebut. Jika mereka melihat ada orang lain yang pangkatnya lebih tinggi, segera mereka hormat kepada orang tersebut, baik ketika masuk ke lift ataupun ketika salah satu dari mereka keluar. Pangkat dan Hormat, menurut saya itu budaya. Argumentasinya cukup sederhana, bukankah kita diciptakan sederajat oleh Tuhan? Lalu kenapa kita membudayakan diri dan ingin dibudayakan agar pangkat kita dihargai dan dihormati oleh orang lain?
Saya beruntung ketika menjadi konsultan di salah satu software house di Bandung, kami dilatih untuk menjadi representatif perusahaan di lokasi klien (onsite). Kami harus terbiasa menghadapi jajaran direksi dan manajemen, termasuk jika diminta untuk mewakili rapat yang menyangkut masalah sistem yang sedang kami bangun. Sehingga mental dan cara komunikasi kami terasah untuk menghadapi orang-orang tersebut.
Setelah keluar, saya bekerja di sebuah perusahaan kontraktor sipil di Kalimantan Timur. Bos saya adalah salah satu orang yang disegani disana karena memiliki koneksi yang kuat dengan petinggi daerah dari mulai kepala etnis, gubernur (apalagi walikota) bahkan hingga presiden RI saat ini. Selain pengusaha, dia juga pengurus partai besar, juga memiliki organisasi massa terbesar di Kalimantan Timur.
Bagi sebagian orang, bertemu dengan orang yang memiliki kedudukan tersebut merupakan suatu kebanggaan. Tetapi bagi orang yang sudah berada di dalam lingkungan tersebut, hal itu menjadi biasa. Saya senang karena kami berada diluar sistem pemerintahan. Kami tidak perlu hormat terhadap para pejabat tersebut karena bagi kami, mereka adalah klien biasa.
Sebagai contoh dalam proses pilkada yang pernah kami tangani, baik anggota DPRD maupun calon walikota, (termasuk walikota incumbent), tunduk terhadap hasil dari proses sistem kami :D. Semua menjadi setara karena kepentingannya sama. Walikota (incumbent) tanpa menjabat, sama dengan calon lainnya. Berusaha untuk menjadi terpilih dalam pilkada.
Sekarang, kalau bertemu dengan Presiden RI merupakan sebuah kebanggaan, lebih bangga mana jika anda bertemu dengan Presiden Amerika? Atau untuk orang IT, lebih bangga mana bertemu dengan pejabat (yang gaptek) atau dengan pendiri Google?