/ INDONESIAN / WORK

Integritas Dalam Pekerjaan

Sekitar tahun 2009 saya dan direktur perusahaan tempat saya bekerja pada saat itu berdiskusi tentang integritas dan loyalitas karyawan dalam pekerjaan.

Pembicaraan ini terjadi karena naiknya gelombang “resign” dari karyawan yang merasa “tidak senang” bekerja di perusahaan tersebut.

Point yang saya tangkap dari pembicaraan waktu itu adalah, salah satu modal bekerja secara profesional itu adalah integritas. Integritas ini adalah ketika badan, pikiran dan usaha kita berada di tempat kerja kita. Ketika salah satu komponen ini tidak berada disana, berarti integritas kita sudah berkurang terhadap pekerjaan kita tersebut.

Kata kedua yang kuat dibahas dalam pembicaraan tersebut adalah “loyalitas”. Direktur saya memang tidak pernah memaksakan loyalitas karyawannya tetapi saya bisa menebak kalau beliau itu sebenarnya lebih menghargai loyalitas daripada skill karyawannya. Prinsipnya adalah “skill” itu bisa dibeli, sedangkan “loyalitas” itu tidak dapat dibeli. Padahal menurut pendapat saya pribadi, “loyalitas” itu juga bisa dibeli. 😆

“Karyawan itu loyal kalau perusahaan menjamin masa depannya”

Sebulan terakhir ini di tempat kerja saya sekarang gelombang “resign” karyawan lagi tinggi, khususnya temen-temen yang datang dari Indonesia. Ini membuat saya merasa “Déjà vu” dengan situasi di tempat saya bekerja pada saat itu. Situasi ini membuat saya kembali berpikir situasi apa yang “tidak kena” terhadap orang-orang tersebut.

Dalam situasi yang sama, manajemen perusahaan menegaskan bahwa mereka lebih memilih karyawan yang merasa “senang” bekerja di perusahaan daripada yang “tidak senang”. Mungkin asumsinya karena karyawan yang “unhappy” (tidak senang) itu biasanya sudah “unengage” (apa istilah Indonesia nya ya?) lagi. (yang menurut saya pribadi “happiness” dan “engagement” di pekerjaan itu juga relatif, dan bisa jadi tidak berkaitan secara langsung)

Someone can be happy at work, but not “engaged”. They might be happy because they are lazy and it’s a job with not much to do. They might be happy talking to all their work-friends and enjoying the free cafeteria food. They might be happy to have a free company car. They might just be a happy person. But! Just because they’re happy doesn’t mean they are working hard on behalf of the company. They can be happy and unproductive.

Sebagian besar diri saya sangat menyetujui isi statement tersebut karena fenomena ini sering kali saya liat di tempat kerja. Dari pengamatan saya, orang yang paling lama bertahan di perusahaan adalah orang yang “lurus-lurus” aja. Sebaliknya high-performer atau orang yang punya idealisme tinggi, rata-rata tidak bertahan lama. Mungkin karena mudahnya terjadi konflik ekspektasi orang-orang tersebut dengan ekspektasi perusahaan.

Pada saat saya berpikir untuk menulis ini, dua senior dan satu junior software engineer di perusahaan kami resign. Dan satu diantara faktor penyebabnya bukan karena tidak “happy”, tetapi ekspektasi yang berbeda antara yang bersangkutan dengan perusahaan. Dalam hal ini ada dua faktor, ekspektasi “pekerjaan” dan ekspektasi “penghasilan”. 😄 Dalam hal pekerjaan, saya percaya dengan ungkapan “Right Person in The Right Position”. Kalau kondisi ini terpenuhi, integritas dalam pekerjaannya akan terbangun dengan sendirinya.

Orang itu akan senang dengan apa yang dia lakukan dan akan memberikan performa yang terbaik karena mungkin disitu adalah keahliannya. Sebaliknya kalau managernya menempatkan dia di posisi pekerjaan yang dia tidak suka, tentu dia tidak akan bekerja dengan baik. (fisiknya ada disana, tapi pikirannya di tempat lain)

Untuk penghasilan, kita semuanya pasti akan berpikir realistis. Sebagai pekerja swasta, salary kita itu betul-betul ditentukan ketika negosiasi pertama sebelum masuk ke perusahaan tersebut. Jarang sekali saya menemukan perusahaan swasta yang menjalankan “penyesuaian salary” yang signifikan kalau kita sudah masuk di perusahaan tersebut. Kalau kita mengharapkan kenaikan gaji, saya rasa tidak akan lebih besar dari 20% / tahun. Menurut saya tidak ada yang salah kalau karyawan resign karena perusahaan lain menawarkan salary yang lebih tinggi, yang dia pikir tidak bisa dia dapatkan di perusahaannya sekarang dalam kurun waktu dekat.

Saya sempat menulis blog tentang konsep kompresi waktu. Disana saya tulis “Seandainya penghasilan saya dua kali lipat penghasilan sekarang, artinya dalam jam kerja yang sama, saya menghemat waktu 1/2 dari waktu saya sekarang”.

Artinya begini, jika penghasilan saya misalnya 5 juta rupiah per bulan, dalam waktu 1 tahun saya menghasilkan 60 juta rupiah. Tetapi jika penghasilan saya 10 juta rupiah per bulan, maka waktu yang saya perlukan untuk menghasilkan 60 juta rupiah adalah 1/2 tahun (6 bulan).

Jadi untuk saya pribadi, integritas dalam pekerjaan itu adalah bagian dari profesionalisme kita bekerja. Setingan saya ketika pergi ke kantor by default itu “Happy” dan “Engage”, cuma mood saya yang terkadang sedikit terganggu kalau ada situasi yang kurang sreg di kantor 😆.

Kalau kita resign karena ada perusahaan lain yang menawarkan salary lebih tinggi, itu merupakan bagian dari profesionalisme kita dalam “kompresi waktu”.