Mengajar(kan) Juga Harus Manusiawi
Mumpung masih fresh, saya ingin menulis pengalaman minggu ini, ketika saya mengikuti pelatihan manajemen di perusahaan tempat saya bekerja sekarang yang temanya membahas “Social Media Marketing” dan kemudian akan saya lanjutkan dengan tema artikel ini tentang “Manusiawi”.
Sesi pertemuan diawali dengan sebuah pertanyaan: “Siapa diantara kalian yang lahir di era sebelum internet?” Tentu saja, saya yang baru saja menginjak usia 32 tahun sehari sebelumnya mengangkat tangan keatas sambil melirik kiri-kanan (berharap ada yang seumuran atau lebih tua dari saya :p).
Karena cuma saya yang mengangkat tangan (>.< kebanyakan pesertanya anak 90-an), akhirnya pertanyaan berikutnya ditujukan kepada saya: “Misalnya kamu mau berlibur ke luar daerah, bagaimana cara kamu memperoleh informasi hotel yang bagus dan ratenya?” Saya bilang pada zaman itu, mungkin saya akan buka halaman “Yellow Pages” di buku telepon saya dan cari iklan hotel yang berada di dekat area yang akan saya kunjungi dan menelepon resepsionisnya untuk menanyakan ratenya.
Tapi pertanyaannya adalah bagaimana kita tahu kalau hotel yang akan kita kunjungi tersebut bagus? Apakah kita akan begitu saja percaya dengan iklan yang ditampilkan?
Tentunya kita lebih mempercayai jika ada teman atau rekan kita yang pernah menginap di hotel tersebut dan memberikan reviewnya. Lebih banyak rekomendasi positif yang kita terima, maka kita akan lebih percaya dengan pilihan tersebut.
Pada zaman internet, hal ini menjadi lebih mudah dilakukan karena banyak sekali situs online yang menyediakan informasi hotel dengan promo-promo menarik dan memiliki rating (review) dari travelers yang pernah menginap di hotel tersebut.
Kata kuncinya disini adalah “Human Relationship”, dimana kita lebih mempercayai orang-orang yang sudah “berpengalaman” menginap di hotel tersebut daripada sekedar iklan dan promo yang ditawarkan pihak hotel.
Lalu apa kaitan pembahasan ini dengan dunia pengajaran?
Sebelumnya salah satu hal yang menggugah saya untuk menulis artikel ini adalah salah satu status Facebook teman saya yang meng-share (alah, bahasa apa ini) status temannya yang kira-kira seperti ini: “Dosen TI mengajarkan bikin produk IT, dianya sendiri belum pernah bikin. Dosen mengajarkan manajemen proyek, dianya sendiri belum pernah memanage project, dst.” dan bagaimanapun juga sayangnya inilah fenomena yang terjadi pada umumnya di negara kita.
Kebanyakan mereka yang belum cukup pengalaman di “dunia nyata” terburu-buru kembali ke kampus untuk mengajarkan “teori” yang sama berulang-ulang. Padahal dunia industri (khususnya IT) ini berubah secara eksponensial.
Dalam salah satu presentasi yang saya temukan di internet, ada salah satu slide yang menyebutkan: “Zaman dahulu, orang tua akan mengarahkan anaknya untuk memilih satu jenis karir, dan menyarankan mereka untuk meniti karir tersebut hingga pensiun. Tetapi di zaman yang “technology-driven” seperti sekarang, metode ini sudah tidak mungkin diterapkan, karena perubahaannya terlalu cepat”.
Salah satu quote terkenal Charles Darwin : It is not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent that survives. It is the one that is most adaptable to change.
Orang tua, pengajar, manager, bos ini kan biasanya orang-orang yang sudah “berumur” :D (istilahnya lagi Gen-X). Sedangkan yang mereka hadapi (anak, murid, anak buah, karyawan) sekarang ini adalah mereka-mereka yang hidup di era Gen-Y. Di zaman ini, sudah bukan zamannya lagi “Facebook” gak boleh diakses di kantor-kantor pada jam kerja :D Karena sosial network sudah menjadi bagian hidup generasi sekarang.
Mengajar juga harus manusiawi, selain terus mengadopsi perubahan (mengenai ilmu apa yang akan diajarkan), mahasiswa juga ingin diajarkan oleh “Manusia” bukan oleh “Buku” atau “Literatur”. Saya pernah duduk di kelas yang dosennya meminta mahasiswa membacakan teks yang ada di buku “Pengantar Pengolahan Data Elektronika” secara bergiliran. Pada saat itu saya tidak merasa sedang diajar oleh seorang Dosen (manusia).
Kenapa sekarang perusahaan-perusahaan terkenal memiliki Fan Page di Facebook? Misalnya seperti salah satu operator CDMA di Indonesia. Ketika pelanggannya mengeluhkan sesuatu, mereka meresponnya secara langsung dengan menjawab komentar-komentar yang diajukan pada halaman tersebut. Dan yang menjawabnya pun “manusia” bukan “mesin”.
Di era “Social Media” seperti sekarang ini, saya pikir bukan cuma saya satu-satunya yang merasa terganggu dengan suara mesin penjawab di telepon ketika kita hendak melaporkan keluhan terhadap suatu layanan …
Seorang yang lebih berpengalaman di dunia industri (pernah melewati fase dari kerja sendiri, dalam tim, punya anak buah, bahkan mungkin sampai memimpin perusahaan), tentunya akan lebih baik ketika mereka kembali ke kampus untuk mengajar. Karena mereka membawa “pengalaman” sebagai “manusia” untuk mengajarkannya kepada “manusia” lain :D. Lagi-lagi kembali ke “Human Relationship”.